Al-Quran sendiri menyatakan bahwa tujuan diturunkannya adalah untuk memperbaiki kondisi manusia. Islam tidak menghapuskan seluruh adat istiadat pra-Islam. Akan tetapi, menghapuskan tindak kecurangan dan membatalkan tradisi-tradisi yang dapat merugikan masyarakat. Karenanya, hukum-hukum Islam melarang riba karena mengambil keuntungan dengan cara yang tidak adil dari orang-orang yang kurang beruntung di Masyarakat. Perbuatan zina dilarang karena mengeksploitasi wanita dan menghancurkan ikatan keluarga. Alkohol dilarang karena dampak negatifnya terhadap tubuh, mental dan spiritual yang dapat berimbas baik pada individu tersebut maupun masyarakat secara keseluruhan. Praktek perdagangan direformasi dengan menjadikan kesepakatan bersama sebagai dasar, dan melarang segala bentuk penipuan. Bentuk pernikahan yang telah ada, diatur dengan menegaskan bentuk tertentu dan melarang sebagian lain, yang pada kenyataannya suatu bentuk zina dan hal-hal yang mendekati. Juga, pembatasan terhadap hukum cerai.
Karena Islam tidak datang untuk menghancurkan peradaban manusia, tetapi membangun peradaban dengan moral dan adat baru. Islam selalu memandang segala sesuatu dari sudut pandang kesejahteraan manusia, apa yang membahayakan dihapuskan dan yang mendatangkan manfaat ditegaskan. Allah SWT berfirman:
{…menyuruh mereka mengerjakan yang ma´ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...} (Al-A’raf 7:157)
Pada dasarnya, Islam merupakan sistem yang membangun dan bukan yang merusak karena tujuannya adalah reformasi dan bukan hanya mengendalikan dan mengatur. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa persetujuan Islam terhadap beberapa adat Arab tidak berarti bahwa Islam mengambil hukum- hukum dan prinsip-prinsipnya dari sumber-sumber lain atau berarti bahwa praktik-praktik yang telah dibenarkan bukan bagian dari hukum Ilahi. Apapun yang telah dibenarkan Islam menjadi bagian penting dari syariat karena alasan- alasan sebagai berikut:
Beberapa bentuk ibadah diwariskan dari kaum terdahulu yang mana Nabi telah diutus kepadanya, contoh yang paling tepat adalah pelaksanaan ibadah haji yang merupakan syariat Nabi Ibrahim dan Ismail.
Rukun-rukun Islam tidak bertentangan dengan akal manusia, tidak juga berarti mereka bodoh. Malahan, Islam membebaskan manusia untuk berpikir mengambil keputusan. Oleh karena itu, hasil kerja yang bermanfaat dari manusia tetap diakui.
Jika praktik-praktik yang telah dibenarkan tidak ada sebelumnya, Islam akan menetapkannya karena kebutuhan manusia terhadapnya.
Kedatipun demikian, jumlah ibadah yang disetujui Islam jumlahnya lebih sedikit ketimbang yang ditolak. Lebih lanjut, bahkan jumlah yang sedikit itu tidak dalam bentuk aslinya. Hanya fondasinya yang tidak tersentuh.
Agar penerapan hukum Islam mencapai tujuan reformasinya, telah dibentuk serangkaian perintah dan larangan hukum yang mengatur tatacara system social Islam. Akan tetapi, dalam penerapan hukum-hukumnya, ayat-ayat Quran memperhitungkan empat hal tersebut di bawah ini:
Menghilangkan Kesulitan
Hukum Islam diturunkan untuk kesejahteraan manusia. Islam memberikan panduan kepada manusia dalam menjalani kehidupan agar tetap berada di atas jalan yang lurus di dalam masyarakat yang adil dan berkomitmen dalam mengabdi kepada Tuhan. Hukum Islam tidak dimaksudkan sebagai beban, menyulitkan manusia agar mereka tumbuh secara spiritual seperti halnya klaim beberapa system. Islam dirancang untuk memfasilitasi kebutuhan individual dan sosial manusia. Karenanya, di antara pilar-pilar Islam adalah penghapusan kesulitan dimana saja. Bukti yang mendukung bahwa konsep Islam adalah menghilangkan kesulitan dapat ditemukan di seluruh al-Quran. Berikut adalah beberapa contohnya:
{Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.} (Al-Baqarah 2:286)
{Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.} (Al-Baqarah 2:185)
{Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.} (Al-Hajj 22:78)
{Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.} (An-Nisa 4:28)
Atas dasar inilah, Allah SWT telah menetapkan beberapa keringanan, seperti bolehnya berbuka puasa bagi yang berpuasa, menqashar dan menjama’ shalat bila dalam perjalanan. Juga diperbolehkannya mengkonsumsi hal-hal yang diharamkan dalam kondisi terpaksa (babi dan alkohol misalnya).
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah 5:3)
Rasulullah SAW yang merupakan teladan paling sempurna dalam penerapan hukum Islam, dalam banyak kesempatan lebih memilih yang lebih mudah bila dihadapkan dengan dua pilihan, selama ia bukan dosa.19 Diriwayatkan juga bahwa Beliau SAW pernah berkata kepada salah seorang sahabat yang diutus sebagai gubernur di Yaman,
“Permudahlah dan jangan mempersulit.”
Para ulama sepakat mengkategorikan kaidah ini sebagai prinsip dasar yang tidak terbantahkan dalam menerapkan hukum. Sebab itu, dalam menerapkan hukum syariat mereka telah menyimpulkan banyak hukum fiqh dengan dasar ini.
Pengurangan kewajiban
Konsekuensi alami dari kaidah sebelumnya adalah berkurangnya jumlah amalan wajib. Oleh karena itu, hal-hal yang diharamkan dalam syariat jumlahnya lebih sedikit dari yang diperbolehkan secara langsung atau dengan ketiadaan perintah atau larangan. Prinsip ini bisa dilihat dengan jelas dalam metode dimana al-Quran mengatur yang haram dan yang halal. Dalam hal pengharaman ia dikelompokkan dan dirinci, sedang hal-hal yang dihalalkan tidak demikian, karena jumlahnya yang sangat banyak. Sebagai contoh, wanita yang dilarang untuk dinikahi, Allah ï·» berfirman:
{Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan.} (An-Nisa 4:23)
Kemudian Allah SWT berfirman:
{Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.} (An-Nisa 4:24)
Tentang makanan, dalam al-Quran dinyatakan:
{Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik…} (Al-Maidah 5:3)
Di sisi lain, untuk makanan yang dihalalkan, Allah SWT berfirman:
{Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang- orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.} (Al-Maidah 5:5)
Lebih lanjut, hal-hal yang diharamkan yang jumlahnya sedikit itu dosanya dicabut saat keadaan mendesak, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Allah SWT beberapa kali menyinggung hal ini dalam al-Quran, yaitu:
{Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.} (Al-Baqarah 2:173)
Juga harus diperhatikan bahwa syariat Islam, secara keseluruhan tidak berisi terlalu banyak detail agar tidak menyulitkan pengikutnya. Ayat yang menunjukkan hal tersebut di antaranya:
{Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.} (Al-Maidah 5:101)
Pertanyaan yang dilarang adalah mengenai masalah yang Allah memilih untuk menetapkan larangan dikarenakan pertanyaan mereka. Dan jika mereka tidak menanyakannya mereka akan dibiarkan untuk memilih apakah akan melakukannya atau tidak. Termasuk di antaranya adalah ketika Rasulullah ditanya berulang kali oleh salah seorang sahabat mengenai apakah haji wajib dilakukan tiap tahun. Beliau SAW bersabda,
“Jika aku katakan: “Iya”, maka niscaya akan diwajibkan setiap tahun belum tentu kalian sanggup, maka biarkanlah apa yang sudah aku tinggalkan untuk kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian, akibat banyaknya pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi mereka.”
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda,
“Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian.”
Rasulullah SAW juga bersabda,
“Sesungguhnya, kaum muslimin yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian sesuatu tersebut diharamkan dengan sebab pertanyaannya itu”.
Salah satu contohnya juga dapat ditemukan di dalam al-Quran dalam muamalah jual beli. Hukum jual beli tidak dirinci sedemikian rupa, tetapi secara umum dan sesuai dengan segala situasi, Allah SWT berfirman:
{Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.}(Al-Maidah 5:1)
{… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.} (Al-Baqarah 2:275)
{Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.} An-Nisa 4:29)
Realisasi Kesejahteraan Masyarakat
Karena syariat islam utamanya diterapkan untuk kebaikan manusia, nabi Muhammad SAW adalah rasul terakhir yang diutus kepada seluruh umat manusia sampai akhir jaman.
Allah SWT di banyak tempat di dalam al-Quran telah menyebutkan:
{Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.} (Saba’ 34:28)
{Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,"} (Al-A’raf 7:158)
Naskh (Penghapusan Hukum)
Adanya penghapusan beberapa hukum dalam syariat Islam adalah salah satu di antara manifestasi pertimbangan kesejahteraan manusia dalam syariat Islam. Tuhan mungkin menetapkan suatu hukum yang cocok pada masa diberlakukannya atau yang berfungsi untuk tujuan tertentu yang terbatas. Akan tetapi kesesuaiannya mungkin akan hilang di kemudian hari karena tujuan khususnya telah tercapai. Dalam situasi seperti ini kebutuhan akan hukum tersebut tidak ada lagi dan keabsahannya menjadi batal. Berikut ini adalah sebagian kecil contoh yang terekam dalam al-Quran atau Sunnah.
Wasiat
Dalam tradisi Arab sebelum Islam, kekayaan orang yang meninggal
diwariskan kepada anak-anaknya, orang tua mayyit baru bisa mendapatkan warisan bila ada wasiat.27 Maka, di masa-masa awal, Islam mewajibkan penulisan wasiat untuk orang tua dan kerabat untuk mengajarkan, komunitas muslim baru ini tentang pentingnya hak-hak keluarga berkaitan dengan kekayaan.
{Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa} (Al-Baqarah 2:180)
Akan tetapi setelah masyarakat menerima hukum ini, mereka mulai menerapkannya dengan ketat, Allah SWT menggantikannya dengan mewahyukan hukum waris yang lebih jelas. Dan Rasulullah SAW menegaskan lebih lanjut pembatalan hukum lama dengan sabdanya,
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada pemiliknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Masa Berkabung
Sebelumnya masa berkabung bagi seorang janda (iddah) adalah setahun penuh, dan diwajibkan bagi suami untuk mewasiatkan bekal untuknya selama periode itu.
{Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma´ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.} (Al-Baqarah 2:240)
Kemudian, masa ‘iddah dikurangi menjadi empat bulan sepuluh hari:
{Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri- isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat} (Al-Baqarah 2:234)
Kemudian, wasiat dihapuskan dengan ayat-ayat waris yang menetapkan porsi khusus untuk janda. Bila mereka tidak memiliki anak, maka seperempat harta warisan adalah milik istri, dan seperdelapan bila memiliki anak.
Perbuatan Zina
Awalnya, hukuman yang diberlakukan bagi para pezina atau pelaku kejahatan seks lainnya seperti homoseksual adalah dengan mengurung mereka di rumah sampai mereka bertaubat dan berusaha memperbaiki diri mereka.
{Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.} (An-Nisa 4:15-16)
Hukum ini kemudian dihapuskan dengan firman Allah SWT :
{Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.} (An-Nur 24:2)
Lebih lanjut, Rasulullah SAW menetapkan hukum rajam bagi pezina30 dan hukuman mati bagi pelaku homoseks tanpa merinci metodenya.31
Dari tinjauan terhadap beberapa ayat yang dibatalkan, dapat diketahui bahwa sebagian hukum digantikan dengan hukuman yang lebih berat, seperti hukuman bagi pezina, yang awalnya hanya hukuman kurungan berubah menjadi hukum cambuk atau rajam; atau dapat juga digantikan oleh hukuman yang lebih ringan seperti hukum iddah; atau digantikan dengan yang serupa tapi lebih cocok. Apapun, hukum-hukum yang dibatalkan tersebut itu sesuai dengan waktu dan keadaan pemberlakukannya. Ketika keadaan berubah, hukum baru diberlakukan untuk mewujudkan tujuan Allah pada penetapan hukum sebelumnya. Juga berubah agar lebih sesuai. Sebagai contoh, seorang janda yang pada awalnya harus menunggu masa iddah selama setahun berakhir tanpa menikah lagi, merupakan adat istiadat bangsa Arab untuk mengurung janda mulai dari satu tahun sampai seumur hidupnya. Selama masa itu, diharuskan mengenakan pakaian terburuknya.32 Bila syariat yang ditetapkan saat itu adalah pengurangan masa iddah menjadi empat bulan sepuluh hari, serta mereka diperbolehkan untuk keluar rumah, maka akan sangat sulit bagi kaum muslimin kala itu untuk menerimanya. Sehingga, masa iddah satu tahun ditetapkan bersama dibatalkannya pengurungan dan kewajiban biaya hidup. Tidak lama setelah mereka terbiasa dengan hukum itu, barulah diterapkan pengurangan masa iddah.
Jadi, di dalam penghapusan beberapa hukum, terdapat di dalamnya pertimbangan keadaan manusia dan kesejahteraan mereka pada masa nabi, yang berakhir dengan wafatnya Rasulullah ï·º33 karena setelahnya tidak mungkin ada lagi pembatalan hukum.
Ayat-ayat berikut adalah beberapa contoh yang menjelaskan tujuan penerapan syariat Islam:
{Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa} (Al-Baqarah 2:183)
{Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui} (At-Taubah 9:103)
{Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah 5:91)
Seringkali Rasulullah SAW menyampaikan alasan dibalik sabda beliau. Sebagai contoh, dibatalkannya larangan Beliau SAW berziarah ke kuburan,
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Kerena Allah telah mngizinkanku untuk menziarahi kuburan ibuku. Ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur, karena ia dapat mengingatkan kalian akan akhirat”
Penjelasan alasan dibalik suatu hukum menunjukkan bahwa ada atau tidaknya suatu hukum tergantung dari ada atau tidaknya suatu sebab. Jika suatu syariat manfaatnya dapat dirasakan terus menerus, maka hukumnya berlaku terus menerus; tetapi, bila telah berubah karena perubahan kondisi, maka hukum juga harus berubah. Atas dasar ini, Umar bin Khattab meniadakan pembagian zakat kepada non muslim untuk meluluhkan hati mereka agar menerima Islam yang biasa Nabi SAW berikan. Beliau menjelaskan, dulu ketika Islam masih awal dan membutuhkan dukungan hal ini perlu dilakukan. Adapun pada masa pemerintahannya, Negara Islam telah kuat, sehingga hal tersebut tidak lagi dibutuhkan.
Pertimbangan kebutuhan manusia dalam penetapan hukum juga dapat ditemukan dalam metodologi penetapan hukum tersebut. Pada kasus hukum dimana manfaat untuk manusia tidak berubah seiring waktu dan kondisi, Allah telah menyebutkan detailnya dengan sagat jelas. Seperti dalam tata cara ibadah, pernikahan, perceraian, warisan, hukum terhadap tindak kriminal seperti pembunuhan, perselingkuhan dan perzinaan, pencurian, dan fitnah. Sedangkan hal-hal yang manfaat atau kerugiannya mungkin bervariasi dari satu tempat dengan yang lain, Allah ï·» telah menetapkan syariat secara umum yang manfaatnya universal yang dapat diterapkan penguasa menurut kebutuhan manusia. Contoh kategori ini dapat ditemukan dalam hukum mengenai transaksi
bisnis dan strukturisasi masyarakat. Contohnya firman-firman Allah SWT:
{Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.} (An-Nisa 4:59)
Rasulullah SAW bersabda,
“Jika seorang budak Habbasy ditunjuk menjadi pemimpin di antara kalian dan dia berhukum dengan kitabullah, maka dengarkan dan patuhilah dia.”35
Pertimbangan penetapan hukum juga dapat ditemukan dalam mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan perorangan, dan dalam mencegah mudharat yang lebih besar dibandingkan yang lebih kecil. Contoh yang bagus adalah praktek poligami. Islam membatasi jumlah istri maksimal empat orang saja dan menekankan pentingnya tanggung jawab mereka yang terlibat. Meskipun bagi sebagian besar wanita berbagi suami adalah perkara yang menyakitkan, kebutuhan akan adanya poligami pada sebagian besar masyarakat dibuktikan dengan adanya kerusakan akibat pelarangannya, sehingga penetapan poligami diperlukan. Karenanya, untuk kesejahteraan umum pria dan wanita, Islam mengakui poligami yang terbatas menadhulukan kebaikan bagi masyarakat daripada kebutuhan wanita secara individu.
Mewujudkan Keadilan Universal
Syariat Islam memandang semua manusia sama berkenaan dengan kewajiban mereka untuk tunduk pada hukum Islam dan bertanggungjawab bila melanggarnya. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Quran bersifat umum tanpa membedakan satu kelompok dengan lainnya.
{Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,} (An-Nahl 16:90)
{Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.} (An-Nisa 4:58)
{Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan} (Al-Maidah 5:8)
Di zaman kenabian, seorang wanita dari kabilah Makhzum yang terpandang mencuri perhiasan dan mengakuinya di hadapan Nabi SAW. Kaumnya karena merasa malu untuk berhukum dengan al-Quran, mereka membawa kasusnya ke orang terdekat Nabi ï·º Usamah bin Zaid untuk menjadi penengah. Ketika Usamah mendekati Nabi SAW, beliau menjadi marah dan berkata,
“Apakah kamu hendak memberi Syafa'at (keringanan) dalam hukum dari hukum-hukum Allah? Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah, sabdanya: Wahai sekalian manusia, hanya saja yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya (tidak menghukum), sementara jika orang-orang yg rendahan dari mereka mencuri mereka menegakkan hukuman had. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yg akan memotong tangannya.”
Sumber:
Last Modified: 9/5/2024
Demikian pembahasan tentang Dasar-Dasar Penetapan Hukum Islam. Semoga dapat menambah pemahamannya tentang Fikih,. Bagikan artikel ini untuk berbagi pengetahuan dengan klik ikon dibawah ini.
Social Media