Sebagai seseorang yang terlibat dengan penggunaan dua
bahasa, dan juga terlibat dengan dua budaya, seorang dwibahasawan tentulah
tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa itu. Salah satu akibat
dari kedwibahasaan adalah adanya tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang
dipakainya atau digunakannya unsur-unsur dari bahasa yang satu pada penggunaan
bahasa yang lain.
Malmaker (1992: 61-61) membedakan campuran sistem
linguistik ini menjadi dua:
- Alih kode (code switching), yaitu beralih dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dalam satu ujaran atau percakapan;
- Campur kode (code mixing/interference), yaitu penggunaan unsur-unsur bahasa, dari satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam bahasa yang lain.
Campur kode atau interferensi mengacu pada penggunaan
unsur formal kode bahasa seperti fonem, morfem, kata, frase, kalimat dalam
suatu konteks dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain (Beardsmore, 1982:
40). Alih kode dan campur kode dalam konteks dan situasi berbahasa dapat
dilihat dengan jelas, juga tataran, sifat, dan penyebabnya.
Batasan Alih Kode
Dalam keadaan bilingual, penutur ada kalanya mengganti
unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur, hal ini tergantung pada konteks dan
situasi berbahasa tersebut. Misalnya, pada waktu berbahasa X dengan si A,
datang si B yang tidak dapat berbahasa Y memasuki situasi berbahasa itu, maka
kita beralih memakai bahasa yang dimengerti oleh si B. Kejadian semacam ini
kita sebut alih kode.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode
ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang
satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari
dialek satu ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo
inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan
sebagainya.
Kridalaksana (1982: 7) menegaskan bahwa penggunaan
variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain,
atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode.
Alih kode dapat terjadi pada masyarakat bahasa
bilingual atau multilingual, namun juga terjadi pada masyarakat bahasa
monolingual. Pada masyarakat bilingual atau multilingual, alih kode
dapat terjadi dari varian bahasa yang satu ke varian bahasa yang lain.
Faktor-faktor penyebab alih kode dapat ditelusuri
melalui keterkaitan suatu pembicaraan dengan konteks dan situasi berbahasa. Hymes (1964) mengemukakan faktor-faktor dalam suatu
interaksi pembicaraan yang dapat mempengaruhi penetapan makna, yaitu:
- siapa pembicara atau bagaimana pribadi pembicara ?
- di mana atau kapan pembicaraan itu berlangsung ?
- apa modus yang digunakan ?
- apa topik atau subtopik yang dibicarakan ?
- apa fungsi dan tujuan pembicaraan ?
- apa ragam bahasa dan tingkat tutur yang digunakan ?
Dari berbagai sudut pandang tersebut di atas, alih
kode dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
- Jenis alih kode : alih bahasa, alih ragam bahasa, alih tingkat tutur;
- Tataran alih kode: tataran fonologi, tataran fonem, tataran kata atau frase;
- Sifat alih kode: alih kode sementara,alih kode tetap atau permanen;
Faktor penyebab alih kode: pribadi pembicara, hubungan
pembicara dengan mitra pembicara, topik atau subtopik.
Batasan Campurr Kode
Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan campur kode
atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa
lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya
pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.
Nababan (1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan
berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau
ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu.
Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaanya yang
dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Dalam situasi
berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Ciri yang menonjol dari
campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Kalau terdpat campur kode
dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat
dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari
bahasa lain (bahasa asing).
Sifat campur kode dibedakan antara interferensi dengan
kalimat integratif. Interferensi merupakan masuknya unsur suatu bahasa ke dalam
bahasa lain yang belum diserap, jadi bersifat sementara. Kalimat integratif
merupakan masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain dn diserap, jadi
bersifat tetap atau permanen (Beardsmore,1982: 44)
Hamers dan Blanc (1983: 78) mengemukakan bahwa
interferensi dapat terjadi dalam bidang fonologi, sintaksis dan semantik. Jika
interferensi dalam bidang semantik tidak dianggap sebagai pengaruh asing, maka
campur kode ini bersifat permanen dan disebut kalimat integratif.
Haugen dan Beardsmore (1982: 46) melaporkan bahwa
kebanyakan hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur nomina paling mudah
bercampur dari satu bahasa ke dalam bahasa lain, sedangkan struktur atau fungsi
bahasa agak sukar mengalami campur kode. Selanjutnya, Haugen dan Beardsmore
(1982: 46) melaporkan bahwa unsur bahasa yang mudah bercampur setelah nomina
adalah verba, adjektiva, adverbial, preposisi dan interjeksi; sedangkan
pronomina dan artikel menunjukkan kekokohan untuk tidak bercampur dengan unsur
bahasa lain.
Seperti halnya alih kode, campur kode juga dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang:
- Jenis campur kode: campur bahasa, campur ragam, campur tingkat tutur.
- Tataran campur kode: tataran fonem, tataran morfem, tataran kata atau frasa, tataran kalimat.
- Sifat campur kode: campur kode sementara, campur kode tetap atau permanen.
Faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan alih kode atau campur kode
Beberapa faktor penyebab terjadinya alih kode atau
campur kode dipengaruhi oleh konteks dan situasi berbahasa yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Pembicara dan Pribadi Pembicara
Pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan.
Pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan.
b. Mitra Bicara
Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang berbicara dengan seorang atasan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati. Sebaliknya, seorang atasan yang berbicara dengan bawahan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata daerah (Jawa ngoko) yang memiliki tingkat tutur rendah dengan maksud untuk menjalin keakraban. Pertimbangan mitra bicara sebagai orang ketiga juga dapat menimbulkan alih kode jika orang ketiga ini diketahui tidak dapat menggunakan bahasa yang mula-mula digunakan kedua pembicara. Misalnya, pembicara dan mitra bicara menggunakan bahasa Jawa beralih kode menggunakan bahasa Inggris karena hadirnya seorang penutur Inggris yang memasuki situasi pembicaraan.
Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang berbicara dengan seorang atasan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati. Sebaliknya, seorang atasan yang berbicara dengan bawahan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata daerah (Jawa ngoko) yang memiliki tingkat tutur rendah dengan maksud untuk menjalin keakraban. Pertimbangan mitra bicara sebagai orang ketiga juga dapat menimbulkan alih kode jika orang ketiga ini diketahui tidak dapat menggunakan bahasa yang mula-mula digunakan kedua pembicara. Misalnya, pembicara dan mitra bicara menggunakan bahasa Jawa beralih kode menggunakan bahasa Inggris karena hadirnya seorang penutur Inggris yang memasuki situasi pembicaraan.
c. Tempat Tinggal dan Waktu Pembicaraan Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah terminal bus di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode. Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain. Seorang penjual karcis bus di sebuah terminal yang multilingual pada jam-jam sibuk beralih kode dengan cepat dari bahasa satu ke dalam bahasa yang lain dan juga melakukan campur kode atau bahasa.
Pembicaraan yang terjadi di sebuah terminal bus di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode. Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain. Seorang penjual karcis bus di sebuah terminal yang multilingual pada jam-jam sibuk beralih kode dengan cepat dari bahasa satu ke dalam bahasa yang lain dan juga melakukan campur kode atau bahasa.
d. Modus Pembicaraan
Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan
(tatap muka, melalui telepon,atau melalui audio visual) lebih banyak
menggunakan ragam non-formal dibandingkan dengan modus tulis (surat dinas,
surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal. Dengan modus
lisan lebih sering terjadi alih kode dan campur kode daripada dengan
menggunakan modus tulis.
e. Topik
Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam situasi “bebas”, “santai” dengan menggunakan ragam non-formal. Dalam ragam non-formal kadang kadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu topik pembicaraan non-ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode.
Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam situasi “bebas”, “santai” dengan menggunakan ragam non-formal. Dalam ragam non-formal kadang kadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu topik pembicaraan non-ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode.
f. Fungsi dan Tujuan
Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan konteks dan situasi komunikasi. Alih kode dapat terjadi karena situasi dipandang tidak sesuai atau tidak relevan. Dengan demikian, alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan konteks dan situasi komunikasi. Alih kode dapat terjadi karena situasi dipandang tidak sesuai atau tidak relevan. Dengan demikian, alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
g. Ragam dan Tingkat Tutur Bahasa
Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa banyak didasarkan pada pertimbangan pada mitra bicara. Pertimbangan ini menunjukkan suatu pendirian terhadap topik tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu. Alih kode dan campur kode lebih sering timbul pada penggunaan ragam non-formal dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi.
Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa banyak didasarkan pada pertimbangan pada mitra bicara. Pertimbangan ini menunjukkan suatu pendirian terhadap topik tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu. Alih kode dan campur kode lebih sering timbul pada penggunaan ragam non-formal dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi.
Sumber: Materi Kuliah sosiolinguistik UT 2019.2
Demikian pembahasan tentang Alih Kode dan Campuran Kode dalam Kedwibahasaan. Semoga dapat menambah pemahamannya tentang Bahasa dan Linguistik,. Kritik dan saran melalui kolom komentar dibawah. Save dan share artikel ini untuk berbagi pengetahuan dengan klik ikon dibawah ini.
Social Media